Tidak Mandi Besar Tujuh Hari Setelah Onani, Bagaimana Hukumnya?
Pertanyaan :
hukum melakukan onani/masturbasi itu bagaimana, dan bilamana tak langsung melakukan mandi junub sampai waktu 7 hari lebih itu juga bagaimana pak ustad, ?
Mohon untuk dikonfirmasikan
(Gatot melalui Facebook)
Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim,
Al-Qur’an surah al-Mu’minûn ayat 1-9 berbicara tentang sifat orang-orang mukmin yang akan memperoleh keberuntungan, yakni orang-orang yang benar-benar beriman.
Salah satu dari sifat-sifat itu adalah mereka yang memelihara kemaluan mereka, kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka (istri/suami yang sah) dan atau (bagi pria) budak-budak wanita mereka, dan sesungguhnya dalam keadaan seperti ini mereka tidak tercela. Makna ayat itu kurang lebih sebagai berikut: Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan orang yang menunaikan zakat, dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; ) maka sesungguhnya mereka tidak tercela Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya, serta orang yang memelihara salatnya. (QS. al-Mu’minûn [23]: 5-6).
Baca Juga : Memahami kontroversi ayat Jilbab
Ayat 5-6 ini dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk menyatakan bahwa alat kelamin tidak boleh digunakan untuk pelampiasan nafsu seksual kecuali melalui hubungan dengan pasangan yang sah. Atas dasar ini, mereka membenarkan pengeluaran sperma atau pemuasan seksual suami atau istri yang sah menurut agama, walaupun keluarnya sperma/tercapainya kepuasan (orgasme) tidak melalui alat kelamin pasangannya. Satu-satunya anggota tubuh yang dikecualikan oleh mayoritas ulama bagi pemuasan seksual untuk pasangan suami-istri adalah “jalan belakang”. “Terkutuk yang melakukan hubungan seks dari dubur,” begitu sabda Nabi yang diriwayatkan Abû Dâwûd dan an-Nasâ’î melalui Abû Hurairah.
Atas dasar ayat itu pula mayoritas ulama mengharamkan onani, masturbasi, dan semacamnya bila dilakukan oleh yang bersangkutan sendiri, baik dengan tangannya maupun dengan cara lain. Ini dinamakan “menikahi diri sendiri atau menikahi tangan sendiri”. Dalam konteks ini, sementara ulama yang berpendapat seperti itu mengemukakan riwayat yang menyatakan, “Terkutuk siapa yang menikahi tangannya.”
Pandangan ulama yang mengharamkan itu, harus diakui, bukan berdasarkan teks ayat atau hadis secara jelas, tetapi berdasarkan pemahaman mereka terhadap ayat atau hadis. Sebab memang tidak ada dalil yang tegas yang melarang onani. Riwayat-riwayat yang berbicara tentang hal onani ditolak kesahihannya oleh banyak ulama.
Namun demikian, diakui pula oleh banyak pihak, termasuk orang yang melakukan onani, bahwa perbuatan ini bukanlah suatu perbuatan terpuji. Salah satu buktinya adalah sering pelakunya merasa bersalah dan berdosa setelah melakukannya. Perasaan bersalah dan cemas itu menjadi bukti bahwa onani/masturbasi dinilai oleh jiwa manusia sendiri sebagai suatu hal yang harus dihindari. Akan tetapi, jika seseorang menghadapi dosa atau dampak yang lebih buruk yang tidak dapat dihindarinya, seperti terjerumus dalam perzinaan, maka dalam keadaan seperti ini dia harus memilih segala macam cara yang lebih ringan dampak negatif atau dosanya. Dalam hal ini, onani jelas lebih ringan dosa atau dampak negatifnya dibandingkan dengan zina.
Sebenarnya Rasul saw. memberikan petunjuk kepada para pemuda yang menggebu syahwatnya, tetapi tidak mampu kawin, agar mengalihkan perhatiannya pada hal-hal positif. Salah satu contoh yang diberikan oleh Rasul saw. adalah berpuasa atau mendekatkan diri kepada Allah guna menghindar dari segala macam rangsangan negatif seperti tontonan atau bacaan yang tidak mendidik. Juga dianjurkan melakukan aktivitas yang bermanfaat seperti berolahraga, bermain, musik, melakukan studi, dan segala hal yang positif.
Demikian penjelasan M Quraish Shihab yang saya kutip sebagian besarnya dari buku M Quraish Shihab Menjawab 1.001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui.
Persoalan kedua, tidak langsung mandi junub sampai tujuh hari.
Kok bisa terjadi? Itu berarti orang yang bersangkutan tidak melaksanakan salat. Bagaimana mungkin ia melaksanakan salat sedangkan ia dalam keadaan tidak suci selama tujuh hari atau lebih! Kalau tidak salat, tentu saja ia berdosa besar meninggalkan kewajiban yang menjadi tiang agama itu.
Memang benar bahwa mandi janabah atau bersuci dari hadas besar setelah mengeluarkan sperma, baik karena berhubungan suami istri maupun karena mimpi, tidak harus dilakukan segera. Boleh saja ditunda beberapa saat. Tetapi harus diingat bahwa kita harus melakukan salat dalam keadaan suci, baik dari hadas kecil (dengan cara berwudhu) maupun dari hadas besar (dengan cara mandi janabah).
Itu artinya, orang yang mengalami mimpi basah pada malam hari, harus sudah melakukan mandi janabah sebelum melaksanakan salat Subuh. Pasangan suami istri yang melakukan hubungan badan setelah Zuhur, harus sudah mandi janabah sebelum melaksanakan salat Asar. Dan begitu seterusnya.
Demikian, wallahu a’lam.